Tag

, , , , , , , , ,

A56

Membuka mata namun belum berani mengangkat kepala. Rasa pusing yang menyerang sejak tadi malam benar-benar menakutkan. Bagaimana tidak, jatuh sakit di tempat yang cukup terisolasi seperti Annapurna Base Camp bukanlah momen yang baik. Perlahan gue mengangkat kepala melepaskannya dari jerat hangat bantal, syukurlah rasa pusing itu sudah tidak ada.

Udara dingin berusaha menyelinap lewat sela-sela selimut, hendak menusuk kulit yang kelak membuat manusia menggigil. Gue mengintip dari balik jendela kamar dan seketika terpana. Subuh menjelang si surya memang belum tampak batang hidungnya, namun sinarnya dengan sombong sudah memberi terang, membuat langit menjadi warna biru yang begitu mengagumkan. Deretan puncak gunung tampak tegak berdiri berusaha mencakar langit, memamerkan kegagahannya, tubuhnya diselimuti putih salju yang tampak berkilau oleh pantulan matahari, dan biru langitlah yang menjadi latar belakangnya.

Detik demi detik gue lewati dengan menikmati pemandangan indah yang ada di depan mata. Suara hembusan angin gunung menemani. Sesekali reruntuhan batu memecah kesunyian. Menikmati momen-momen seperti ini membuat rasa lelah dan sakit memang tidak lagi terasa.

Seusai sarapan gue bergegas turun gunung, hendak kembali ke Pokhara. Sebagai salah satu tanda merayakan hari yang indah gue memesan kentang goreng dengan saus keju cair sebagai hidangan ditambah dengan segelas susu panas. Waktu tempuh perjalanan barangkali sekitar dua hari.

Gue mengelus dan memukul papan selamat datang Annapurna Base Camp sebagai tanda perpisahan. Dari dalam hati bergumam semoga bisa kembali ke tempat ini lagi. Sepanjang perjalanan turun dari Annapurna Base Camp menuju Machhapuchhre Base Camp gue kerap melihat ke belakang sebab pemandangannya yang begitu indah, menunjukkan betapa kecilnya manusia kala berhadapan dengan semesta. Aliran air yang terbentuk dari es mencair seperti menemani perjalanan. Demikian juga dengan sekumpulan domba yang sedang bersantai. Bulu-bulunya begitu tebal membuat mereka tidak kedinginan. Sama sekali mereka tidak menghiraukan manusia-manusia yang melewati mereka. Di satu saat gue merasa iri dengan domba-domba tersebut sebab setiap hari mereka disuguhi pemandangan yang menakjubkan.

Sebelum menuruni sebuah tangga gue mengambil waktu untuk melihat kembali ke arah Annapurna Base Camp, menikmatinya. Sebab setelah menuruni tangga nirwana ini sudah tidak terlihat lagi.

Hujan deras mengguyur tanpa ampun di siang hari. Karena menduga hujan turun tidak lama gue tetap melanjutkan perjalanan tanpa mengenakan ponco. Apa lacur dugaan gue meleset jauh. Hujan terus mengguyur sampai akhirnya nanti gue tiba di Landruk, desa tempat bermalam di hari pertama turun. Alhasil seluruh pakaian mulai dari jaket, celana, sepatu, kaos kaki, hingga sempak basah kuyup sepanjang perjalanan. Sudah tak peduli lagi dengan tubuh yang basah. Mungkin gue berjalan di tengah hujan sekitar empat jam. Tak apalah sebab ada baiknya juga, kebetulan sejak hari pertama mendaki hingga turun gunung ini gue belum lagi mandi.

Gue beristirahat cukup lama di Chomrong, duduk di anak tangganya. Di desa ini juga gue harus melapor kembali kepada pos jaga pegunungan tanda sudah turun gunung. Untuk beberapa saat gue melihat hutan yang ada tak jauh dari desa, mengingat kembali saat-saat tersesat di antara belantaranya dan tak sengaja bertatapan mata dengan hewan buas, sebelum akhirnya lari terbirit-birit.

Bila titik awal keberangkatan menuju Annapurna Base Camp adalah Ghandruk, kali ini titik akhir turun gunung adalah Landruk. Tidak ada sebenarnya rencana untuk pulang melewati jalur tersebut, gue hanya mengikuti orang-orang di depan. Mengingat perjalanan menuju Annapurna Base Camp hampir setiap hari dilalui sendiri tanpa berpapasan dengan pejalan lain, gue cukup senang ketika turun gunung kali ini bisa beriringan dengan pejalan lain. Perjalanan dari Chomrong menuju Landruk cukup melelahkan sebab didominasi oleh anak tangga yang begitu curam. Pemandangan menyeramkan tersaji sepanjang perjalanan, lembah dan jurang yang terjal, cukup menjadi momok bagi orang seperti gue yang takut ketinggian.

Landruk memiliki cukup banyak penginapan. Gue memilih salah satu penginapan secara acak tanpa banyak pertimbangan karena tubuh sudah terlalu lelah dan lapar. Sesampainya di kamar gue langsung melompat masuk ke kamar mandi. Air pegunungan tidak lagi terasa begitu dingin sebab tubuh sudah terlalu lama diguyur hujan sepanjang perjalanan. Balkon depan kamar sudah dijejali dengan jemuran pakaian dan sepatu. Air di desa ini sudah tidak dingin namun tetap menyegarkan, setidaknya tidak menjadi momok menyeramkan bagi sekujur tubuh. Dengar-dengar juga entah di desa ini atau di desa yang lain ada sumber air panas yang menjadi tempat favorit para pejalan dalam melepas lelah.

Danau Phewa yang menjadi jantung Pokhara begitu menenangkan. Langit tidak terlalu cerah sepertinya, deretan pegunungan Himalaya tidak terlihat dari pinggiran danau. Sangat menyenangkan bisa kembali lagi ke kota ini setelah berhari-hari mengasingkan diri di Annapurna. Tentu saja, apalah artinya bisa menginjakkan kaki di puncak pendakian apabila tidak kembali pulang, sebab esensi dari menempuh perjalanan adalah pulang. Gue menghabiskan beberapa hari di Pokhara sebelum kembali ke Kathmandu. Pokhara menghadirkan ketenangan dengan caranya sendiri. Kota yang tenang, sejuk, minim hiruk pikuk, warganya yang ramah. Oh hawa, di luar terasa sungguh menggigilkan dan nyamuk-nyamuk banyak bertebaran. Aku hanya berkata peduli setan.