Tag

, , , , , ,

A14

Bus berjalan perlahan tapi pasti meninggalkan terminal Luang Prabang. Setelah meninggalkan terminal, bus masuk ke stasiun pengisian bahan bakar yang ada tepat di samping terminal untuk mengisi bahan bakar. Ada yang aneh, sudah lebih dari 15 menit bus berada di stasiun pengisian bahan bakar, bus tak kunjung melanjutkan perjalanan. Penumpang mulai celingak-celinguk, termasuk gue. Supir dan kondektur keluar masuk bus sambil berbicara menggunakan bahasa Laos, wajah mereka tampak gelisah. Satu persatu penumpang mulai turun keluar bus mencari tahu apa yang sedang terjadi. Gue pun keluar dan bertanya kepada penumpang yang lain. Benar saja, bus mogok. Lebih dari setengah jam penumpang menunggu di luar bus, berharap bus dapat diperbaiki dan bisa melanjutkan perjalanan. Setelah supir dan kondektur bersusah payah berjibaku di dalam kolong, bus pun akhirnya…..tetap mogok. Seluruh penumpang diminta untuk mengambil kembali barang bawaan. Pihak bus mengatakan kalau bus pengganti akan segera datang dan mengangkut seluruh penumpang ke Vientiane. Beberapa menit kemudian, sebuah van datang. Gue mengira van ini akan mengisi bahan bakar. Sang supir mendekati van kemudian mengobrol. Tak lama kemudian, dia berteriak memanggil penumpang untuk masuk ke dalam van. Para penumpang tak ada yang menggubris, mereka tetap diam di tempat. Sang supir kembali berteriak, dia tidak bercanda. Gue dan penumpang lain disuruh masuk ke dalam van. Gue sangat terkejut. Awalnya pantat gue akan dimanja oleh bus yang sangat nyaman dan gue cintai, kini harus meladeni kerasnya jok mobil van dan kerasnya jalanan Luang Prabang – Vientiane.

“Anda bilang tadi bus juga kan pengganti nya?” gue ngomong ke si supir.

“Iya,” jawab dia.

“Setahu saya ini bukan bus deh. Ini kan van,” Gue mulai gak yakin sama diri sendiri tentang pengertian bus. Gue takut selama ini salah memahami arti bus.

“Nggak, kok, Ini bus juga. Dan tentu saja gak kalah nyaman,” dia berkata dengan yakin, matanya berbinar-binar. Dia berharap gue percaya dan luluh. Gue tidak goyah.

“Tapi harganya beda, dong. Harga tiket van ini pasti lebih murah dibanding dengan naik bus. Penumpang dapat kembalian berapa?”

“Nggak ada kembalian. Harganya sama aja. Van ini juga sangat nyaman. Percayalah.”

Gue memilih untuk mengalah, pergi meninggalkan dia. Percuma saja bersikeras, tidak akan ada kembalian tiket bus. Penumpang yang mengetahui hal tersebut tampak kecewa. Gue memegang pantat kesayangan gue, kemudian berbisik dalam hati memberikan kata-kata penghiburan agar si pantat kuat, tabah, dan ikhlas menjalani cobaan yang akan dihadapi.

Barang bawaan diletakkan dan diikat di atas van. Penumpang masuk ke dalam van secara tak beraturan. Tidak ada nomor bangku, siapa cepat dia dapat. Gue dan Praveen duduk di bangku dekat pintu sebelah kanan. Sepasang kekasih dari Perancis perebut bangku gue juga ada di dalam van yang sama. Mereka duduk di bangku belakang. Butuh 3 van untuk mengangkut seluruh penumpang bus tadi. Van yang lain belum kelihatan. Pintu ditutup, bangku sudah terisi penuh dan siap berangkat. Tiba-tiba seorang pemuda melompat masuk ke dalam. Tidak ada bangku kosong lagi saat itu. Dengan ajaib dia membawa kursi kayu kecil seperti kursi tukang sol sepatu yang berkeliling di rumah-rumah warga. Entah dari mana dia dapat kursi ajaib itu. Gue menduga dia merampasnya dari tukang sol sepatu Laos. Dia duduk dengan elegan di depan kaki Praveen.

Van pun melaju menantang gelap. Setelah memastikan pantat baik-baik saja, gue tidur. Gue sudah pasrah dengan van beserta supir dan kondektur. Terserah bagaimana si supir membawa van. Harapan gue hanyalah ketika membuka mata, gue udah ada di Vientiane.

Di tengah perjalanan gue terbangun. Gelap mengelilingi. Penumpang berbisik-bisik dan tampak gelisah. Van sedang berhenti di pinggir jalan. Sesekali mobil lain melewati van dan menyinari jalanan melalui lampu mobilnya. Di sekitar hanya ada hutan. Gue mulai khawatir kalau mobil ini juga mogok. Gue bertanya ke penumpang lain, ternyata si supir mau tidur. Dia kelelahan. Gue gak tau harus berkomentar seperti apa. Mau marah juga gak bisa, hanya dia satu-satunya supir. Mau senang juga rasanya aneh. Si cowo asal Perancis perebut bangku gue tiba-tiba berteriak,

“Apa-apaan ini? Jalan dong. Kenapa berhenti di tengah hutan gini?” Penumpang lain menoleh ke arah dia.

“Ssssttt….. Biarin aja dia tidur. Mungkin dia lelah,” balas penumpang lain. Gue terharu mendengarnya.

“Kalau mau tidur setidaknya nyalain lampunya, dong. Kalau ditabrak mobil lain gimana? Ini lagi di tengah hutan. Bahaya!”

“Hey, anak muda, diam kamu! Biarkan dia istirahat. Jangan teriak-teriak. Kamu gak membantu sama sekali!” si kakek dari Spanyol memarahinya. Kemudian dia menggerutu ke istrinya yang ada di samping menggunakan bahasa Spanyol. Si pemuda pun terdiam. Sang kekasih berbisik dan menenangkannya. Terlalu lelah untuk bereaksi dan berkomentar, gue memilih untuk kembali tidur. Semoga tenaga sang supir terisi kembali dan bisa membawa van ke tempat tujuan.

********************

Ketika membuka mata untuk kedua kalinya, gue senang bukan kepalang. Gue udah berada di kota Vientiane. Malam yang panjang terlewati. Entah apa yang telah dilakukan si supir, entah dia mengenggak minuman berenergi atau menggunakan kemampuan teleportasi, yang penting penumpang seluruhnya sudah berada di Vientiane. Gue menoleh ke arah belakang mencari si pemuda asal Perancis, dia masih ada. Gue sempat berpikir kalau dia dibuang di tengah hutan karena berteriak marah-marah.Kalau tadinya memang benar dia dibuang, gue bersedia menjadi kekasih si cewek asal Perancis.

Sesampainya di Northern Terminal, gue langsung berlutut dan mengucap syukur karena gue masih ada dalam keadaan utuh. Empat jempol dan hormat gue sematkan kepada sang supir dan kondektur. Gue menyalami mereka dengan penuh kasih. Setelah berpamitan dengan sepasang kekasih dari Perancis dan kakek nenek dari Spanyol, gue naik bus menuju Southern Terminal. Di terminal itu ada public bus yang akan membawa gue kembali ke Nongkhai. Perjalanan dari bagian utara menuju selatan Vientiane ditempuh dalam waktu sejam menggunakan public bus sederhana. Bus berjalan melewati tengah kota Vientiane dan kemudian mengarah ke selatan. Gue melihat pusat perbelanjaan, banyak kantor pusat pemerintahan. Bus juga melewati istana presiden. Gue sempat bertanya dalam hati kalau Pak Jokowi sedang ada di dalam atau tidak. Sungai Mekong kebanggan Praveen tampak membelah tengah kota. Southern Terminal sangat ramai saat itu. Terminalnya tidak sebesar Northern Terminal, dan lebih kotor. Kotornya terminal membuat hasrat gue untuk buang air besar sirna begitu cepatnya. Biarlah  hasrat ini akan tersampaikan di tanah Thailand saja. Banyak sekali bus yang sedang parkir. Gue mengantre di loket bus jurusan Nongkhai. Antrean tidak terlalu panjang, mungkin tidak banyak orang yang akan menuju Thailand saat itu, lebih banyak menuju kota-kota lain di Laos.

Setengah jam menunggu, bus yang ditunggu datang juga. Benar saja, banyak sekali bangku yang kosong. Kurang dari 15 orang yang ada di dalam bus saat itu. Bus perbatasan ini milik pemerintah Thailand. Nomor polisinya milik Thailand, supirnya merupakan warga negara Thailand, dan kemudinya juga ada di sebelah kanan. Kendaraan di Laos memiliki kemudi di sebelah kiri. Bus perbatasan ini sangat bersih, usia busnya juga masih muda. Kualitas busnya jauh lebih baik dibanding dengan bus antar kota lain yang ada di terminal. Ada pintu dan sekat pemisah antara ruang kemudi supir dengan bangku penumpang. Supirnya mengenakan setelah jas lengkap dan topi bak pilot. Sampai ketemu lagi Laos, saatnya kembali ke Stasiun Nongkhai. Dari sana gue akan kembali naik kereta ke Bangkok. Di Bangkok gue akan menginap beberapa hari sebelum terbang pulang ke Indonesia untuk melanjutkan hidup. So hear this please and watch as your heart speeds up endlessly, and look for the stars as the sun goes down. Each breath that you’ll take has a thunderous sound. Everything, everything’s magic!