Tag

, , , , , , , , , , , , ,

A19

Di awal mulanya hari jam tujuh gue sudah berdiri manis tegak memanggul tas carrier tercinta dan memegang botol minum di pinggir jalan dekat persimpangan ajaib yang kemarin dilewati, belum banyak kendaraan lewat, pun begitu juga polisi belum kelihatan batang hidungnya di pos jaga sebab mubazir rasanya mengatur lalu lintas di kala sepi berkuasa. Sepanjang ratusan meter jalan, tourist bus tampak berjejer rapi seperti anak ayam yang sedang menunggu perintah induknya untuk maju. Lebih dari lima belas bus dengan warna cat dan motif beragam sesuai dengan selera masing-masing, warna biru, merah, biru, hijau, kuning, dan warna lain tampak persis seperti pelangi di pagi hari menghiasi jalan tanpa harus menunggu hujan reda juga tidak perlu menunggu adanya hujan. Semuanya sudah siap mengais uang dari dompet siapapun yang akan meninggalkan hiruk pikuk Kathmandu menuju Pokhara yang konon bak tempat bertapa bersemedi sepinya. Gue celingak-celinguk mencari bus Blue Sky yang sesuai dengan tulisan yang tertera di tiket di genggaman tangan yang sudah gue beli sehari sebelumnya, walaupun sebenarnya membeli tiket di hari itu juga tak mengapa, hanya saja gue tidak berminat beradu urat menawar harga tiket bus dengan kondektur di awal hari, sebab dapat meruntuhkan mood sepanjang hari pula. Sebenarnya di tiket tertera nomor plat bus yang dimaksud, sayangnya ketika memperhatikan nomor plat yang menempel di bus, angkanya menggunakan bahasa Nepal entah pun bahasa India yang dapat membuat orang seperti gue sakit kepala sebelah melihatnya, tulisannya seperti akar-akar dan kecambah. Sang bus ternyata sedang parkir cukup depan dari persimpangan. Setelah bertanya kepada orang yang gue tebak sebagai kondektur, benar itu busnya, dan segera mengoper tas untuk dimasukkan ke dalam bagasi bersama tas-tas penumpang yang lain.

Masuk ke dalam bus, gue mendapat tempat duduk ketiga dari belakang di sisi kanan tepat di samping jendela. Belum banyak orang yang berada di dalam bus saat itu, mungkin masih menarik napas melakukan peregangan juga senam bokong di luar sana didampingi penjaja makanan dan minuman sebab akan terus duduk selama lebih kurang tujuh jam. Interior busnya sendiri baik, jok cukup empuk dan bisa disetel, kabin penyimpanan tas di atasnya, tirai jendela, kantong kecil untuk menaruh barang di depan tempat duduk, kipas angin kecil di setiap pinggiran, juga ada AC yang semakin gue ragukan keberadaannya sebab ada kipas angin. Busnya juga bersih, antara bangku penumpang dan bangku supir dipisahkan sekat dengan pintu seperti bus Transjakarta. Secara keseluruhan, bolehlah bus seharga 700 NPR ini disamakan dengan Damri kelas eksekutif jurusan Stasiun Gambir ke Soekarno-Hatta, dan masih kalah cukup telak jika dibanding dengan bus malam Medan-Banda Aceh. Tourist bus adalah satu dari beberapa kendaraan umum yang akan mengantarkan manusia menjemput impian di Pokhara pula salah satu yang paling favorit mengingat harganya yang terjangkau dan fasilitas yang tidak merobek jiwa. Sebab ada moda transportasi lain seperti pesawat, lebih cepat memang, satu jam terbang langsung sampai, tapi lebih cepat juga mengiris dana dalam dompet. Sebab ada juga public bus, yang harganya setengah dari tourist bus, tapi memakan waktu bisa dua kali tourist bus, tambah lagi bentuk busnya yang mengkhawatirkan mengingatkan gue akan metromini, kopaja, dan sebangsanya namun tetap angkat topi mengingat bagaimana bus dengan kondisi seperti kendaraan perang era Perang Dunia II masih bisa bolak-balik Kathmandu-Pokhara. Konon pula ada bus yang berkelas deluxe dengan fasilitas setingkat di atas tourist bus lengkap dengan televisi dan makan pagi dan siang gratis yang harganya juga tentu deluxe. Dari berbagai pertimbangan, baiklah kalau tourist bus yang menjadi favorit para turis bahkan warga lokal sendiri. Jam tujuh lewat tiga puluh, semua bus bergerak maju tanpa tersisa seperti si induk ayam memerintah maju, pun seluruh anak ayam mengikuti. Ya, jam keberangkatan bus ini hanya satu kali setiap harinya. Dalam sekedip mata jalanan kota sedang dipenuh gerombolan anak ayam dalam bentuk bus.

Keluar dari Kathmandu tampak jelas kalau kota ini seperti terkungkung oleh pegunungan yang menjulang tinggi. Bus mengarungi jalanan menanjak menurun berkelok menghabisi bukit dan gunung, jalanan seperti ular yang sangat panjang sedang mengitari tubuh mangsanya. Dari ketinggian tampak sang ibukota sedang melanjutkan hidup di bawah sana dengan latar belakang pegunungan hijau dan semesta biru sesekali direlungi awan, serta surya yang masih baik hati belum memancarkan panas, masih bisa diimbangi sejuknya angin. Saat itu pembangunan di kiri dan kanan jalan sedang marak membuat debu-debu berterbangan meghiasi keruwetan. Di beberapa tikungan tajam yang seringkali membuat mata dan jantung penumpang membelalak, kendaraan harus mengantre giliran melintasi jalan mencekam. Setelah cukup jauh meninggalkan kota, sungai di sebelah kanan menjadi pemandangan yang dinikmati hampir sepanjang perjalanan. Sesekali gue melihat jembatan selebar dua bahu manusia dewasa yang membentang menantang arus sungai sebagai penghubung kehidupan antar kampung-kampung di lereng gunung. Sesekali sungai dihiasi batu-batu yang besar, sesekali tak ada batu penghias keindahan tersebut, sesekali pula truk pengangkut pasir dijumpai sedang parkir di pinggiran sungai menunggu muatan pasir penuh di baknya.

“Kalau bisa injak gas kenapa harus injak rem” mungkin menjadi slogan si supir bus. Bus melaju begitu kencang di tengah jalan yang lebarnya ala kadarnya. Rasanya pantang untuk sering-sering menginjak rem. Bus, truk, mobil, sepeda motor, manusia, hingga gerombolan domba dan kerbau disalip tanpa belas kasihan. Bus meliuk-liuk membuat turis-turis mancanegara mencengkeram erat bangku masing-masing dan tak jarang kesulitan bernapas karena takutnya, mungkin pula ada yang berdoa memohon ampun kepada Yang Maha Kuasa sambil mengetik pesan singkat berisi perasaan sayang kepada orang-orang terkasih. Beberapa juga pasti sudah mengumpat dan mengutuk supir bus dalam hati. Beberapa juga barangkali sedang mengingat kembali apakah mereka sudah membuat asuransi jiwa selama perjalanan. Bagi penduduk setempat hal itu pasti sudah seperti cemilan bagi mereka. Untuk gue sendiri, jalanan dan tingkah laku si supir mengingatkan gue akan jalanan dari Medan ke kampung di Tanah Karo yang sudah gue arungi dari umur belia, jadi tidak perlu panik. Sesekali gue berterima kasih kepada ayah dan ibu yang sudah mengenalkan jenis jalanan setan seperti ini dari kecil.

Bus berhenti pertama kali setelah satu setengah jam perjalanan di sebuah warung kecil nan sederhana. Gubuk kayu hampir tumbang disulap menjadi kios menjual makanan ringan, teh, kopi, buah-buahan, dan jajanan lain. Di sampingnya ada toilet-toilet umum berjejer dengan pintu kayu dilapisi seng, penuh dengan antrean penumpang menunggu giliran. Jangan tanya kebersihan toiletnya. Bau kencing manusia yang tidak disiram harus mulai dibiasakan dihirup. Beruntung bila di ember tua yang dasarnya berlumut ada secercah harapan dalam bentuk air. Klosetnya juga kloset jongkok, tanpa penerangan di dalam toilet. Bayangkan jika orang harus buang hajat di toilet dengan dominasi aroma kencing, di malam hari dengan penerangan bermodalkan bulan bintang, dan air di ember yang pas-pasan. Buang hajat pun pasti penuh dengan kesan.

Tidak lama bus berhenti di situ, tidak sampai lima belas menit, bus kembali mengarungi jalanan. Puas menikmati keindahan sungai yang meliuk-liuk membelah bukit, gue mengatur posisi untuk bisa tidur. Itupun membutuhkan waktu yang lama setelah di momen-momen sakral menuju tidur gue harus bertarung terlebih dahulu dengan gadis Tiongkok di samping gue yang asyik ngobrol dengan lelaki Tiongkok di bangku seberangnya. Kerasnya suara mereka menggelegar barangkali hingga ke kemudi supir. Sesekali penumpang lain melirik ke arah mereka, namun sepasang Tiongkok ini terlalu sibuk dengan dunia yang sudah terlampau jauh, membuat penumpang lain mengalah sambil berwajah masam. Terpaksa pula telinga disumpal dengan earphone, menarik diri dari keramaian dunia oleh sepasang Tiongkok, lagu-lagu aransemen Postmodern Jukebox menggema menghibur hingga tertidur.

Alam mimpi buyar tuntas ketika bus berhenti di sebuah rest area untuk sarapan. Seluruh penumpang turun, tak lama kemudian bus dikunci. Di rest area tersebut, ada sebuah bangunan utama berlantai tiga, lantai atasnya dijadikan semacam hotel, lantai paling bawahnya dijadikan restoran, tempat sebagian besar penumpang dari beberapa bus yang ada saat itu menebus rasa lapar mereka. Di samping bangunan utama ada warung kecil menjual jajanan dan ada juga warung menjual buah-buahan segar. Yang menjadi perhatian gue adalah ada satu lagi warung kecil di sudut rest area, menjual teh, kopi, dan jajanan khas Nepal. Sepi sekali warung itu. Berapalah untung bapak ini dalam satu hari, pasti kalah jauh dibanding restoran yang ada di depannya ini, tanya hati. Dari tiga bus yang berhenti, hanya segelintir orang yang singgah ke warung dia. Tambah lagi si bapak pemilik warung memiliki wajah yang membuat hati dengan mudahnya tersentuh. Ingin gue mampir ke warung itu untuk membeli apapun agar dagangannya laku, namun gue sudah terlanjur membeli satu porsi makanan khas Nepal seharaga 250 NPR. Kalau ke sini lagi, gue akan mampir ke warung bapak itu dan membeli sesuatu, demikian janji dalam hati.

Piring yang berisi nasi goreng, mie goreng, bakwan Nepal, dan semangkuk kecil sup kacang hijau ludes tak berbekas bertepatan dengan bunyi klakson bus yang mengisyaratkan penumpang untuk masuk ke dalam bus sebab perjalanan harus segera dilanjutkan.

Gue semakin bertanya-tanya dalam hati tentang orang Nepal, apakah wajah mereka memang sedemikian rupa atau mempunyai kemampuan khusus dalam mengatur mimik mukanya sehingga membuat gue merasa iba. Sekitar satu jam setelah sang surya berada tepat di atas kepala, bus kembali berhenti untuk yang ketiga kalinya, kali ini untuk makan siang. Selera makan belum menghampiri, mungkin baru muncul nanti ketika sudah tiba di Pokhara. Sebuah bangku kosong di bawah pohon gue jadikan pelabuhan sambil bersantai. Penumpang yang lain bergiliran memesan makanan sambil mengintai makanan yang sedang mereka incar. Di samping gue berdiri seorang lelaki mengenakan kemeja putih yang sudah menguning, motif polkadot, kekecilan, dan lengannya disingkap. Celananya jeans cutbray terlalu panjang sehingga bagian bawahnya tampak sobek, dengan sandal jepit biru di alas kakinya. Tubuhnya kurus, berkulit coklat, dan wajahnya seratus persen memancing rasa iba dan simpati, seperti beban hidupnya sungguhlah berat. Kelihatannya dia salah satu pegawai di restoran itu, kerjanya adalah mengumpulkan seluruh piring kotor yang terbengkalai di meja kemudian mengumpulkannya di ember besar yang terbaring di dekat tempat gue duduk. Dalam sekali tatap, rasa iba langsung menenggelamkan kalbu. Cara dia mengambil piring, membersihkan meja, meletakkan piring kotor ke dalam ember, semuanya seolah-olah mengisyaratkan dia sudah terlalu lelah menjalani hidup di dunia fana. Sesekali ia diperintah oleh seorang lelaki berumur empat puluhan yang gue tebak sebagai bos restoran, dia mengangguk pelan atas perintah kemudian berlalu. Si lelaki polkadot adalah paket komplit dari kesedihan dan gue tersentuh untuk membeli paket itu. Sebelum beranjak, gue menyapa dia lalu memberikan dia bebarapa lembar rupee yang mungkin nilainya tidak seberapa tapi semoga berguna buat dia dan bisa membuatnya sedikit tersenyum terlepas dari beban. Uang itu gue sodorkan ke dalam tangannya, ia tampak kaget. Tapi gue sudah duluan berlalu meninggalkan dirinya yang berdiri terheran-heran sambil memegang lembaran rupee. Nanti kalaulah memang dipertemukan lagi, semoga wajahnya tidak seiba dan semenyedihkan itu lagi, demikian harapan gue sambil berusaha tidak menoleh ke belakang dan masuk ke dalam bus.

********************

Bus memasuki Terminal Pokhara sekitar jam tiga sore. Bukan sebuah terminal yang besar, malah lebih kelihatan seperti area kosong dengan tanah berbatu namun dinamakan terminal. Sudah ada beberapa bus yang parkir rapi juga ada beberapa taksi siap menerkam. Satu persatu penumpang turun dari bus. Setibanya di luar bus, benar saja seperti yang diduga, bak bintang film di karpet merah, gue sudah diserbu oleh banyak supir taksi yang berebut pelanggan. Juga ada banyak orang yang menawarkan penginapan di seluruh penjuru Pokhara. Gue berusaha untuk tetap senyum menolak mereka semua. Ada supir yang berteriak agar gue naik taksi dengannya sebab jika jalan kaki akan jauh, membutuhkan waktu seperempat jam dengan taksi, semacam trik klasik supir taksi di tempat-tempat lain. Bersiap akan jalan kaki, seorang supir taksi menunjukkan secarik kertas putih yang terlipat kasar bertuliskan nama “Tri Asmeli Sembiring, Hotel Lotus Inn. Gue terdiam, kenapa dia bisa tau nama gue. Apakah ada Tri Asmeli Sembiring yang lain kota ini selain gue. Apakah dia penculik apakah dia komplotan teroris. Rasa kaget berusaha muncul keluar tapi berhasil ditahan dan gue berusaha tampak tenang agar tidak jadi bulan-bulanan para pemangsa di terminal.  Gue memastikan kalau tidak pernah memesan taksi, bahkan dari hotel sekalipun. Awalnya gue menolak dengan mengatakan kalau gue merasa tidak pernah memesannya. Si supir mengatakan kalau ini tidak dikenakan biaya alias gratis langsung dari hotel. Tanpa pikir panjang gue langsung melompat masuk ke dalam taksi. Dalam hati bergumam, kalau ternyata dia minta duit, mesti berkelahi dulu baru boleh kasih duit, tidak akan diberi begitu saja, sekali-sekali ribut bolehlah tak mengapa.

Tidak seperti yang diteriaki supir taksi di terminal, perjalanan ke Hotel Lotus Inn di daerah Lake Side yang sudah gue booking sebelumnya hanya memakan waktu lima menit. Menyisiri jalanan Lake Side yang dipenuhi pepohonan rimbun semakin mendamaikan suasana, sampai juga di hotel. Lagi-lagi, Hotel Lotus Inn bukanlah hotel kelas wahid, hanya hotel sederhana seharga 650 NPR per malamnya. Kamarnya luas dan bersih. Di tengah hotel ada taman kecil disertai dengan bangkunya. Merebahkan raga sejenak, kemudian gue mandi berusaha merenggut rasa segar yang pergi dari tubuh hari ini.

********************

Hiruk pikuk, riuh klakson mobil bak terompet rusak, gedung-gedung berimpitan yang menyesakkan mata, semuanya tidak gue temui di sini. Pokhara jauh lebih sepi dan menenangkan. Keberadaan Phewa Lake semakin menyejukkan. Jalan utama Lake Side lebih luas dibanding jalanan Thamel tentunya. Suara burung-burung yang bertengger di pohon menjadi santapan ketika berjalan kaki. Aktivitas warga di sore hari banyak berlangsung di jalanan tepian danau, mulai dari lari sore, sekadar berjalan, bersepeda, hingga bermain tenis meja. Sisa hari di Pokhara gue habiskan dengan menikmati semua kedamaian yang ditawarkan sembari mempersiapkan lahir batin untuk memulai trekking menuju ABC esok ketika mentari bersinar lagi.

********************

Sebelum memejamkan mata dan jatuh terlelap, gue kembali mengecek dan mengepak tas. Sleeping bag, down jacket, windbreaker and waterproof jacket, fleece jacket, empat pasang kaos kaki trekking, sepasang kaos kaki thermal, lima celana dalam, baselayer, longjohn, dua helai kaos dri-fit, sandal trekking,  poncho, kupluk, sarung tangan outdoor, sarung tangan thermal, headlamp, gaiters, handuk, toiletry bag, dan botol minum, serta perlengkapan pribadi, seluruhnya sudah tertata rapi di dalam tas. Dari petuah-petuah orang yang terlebih dahulu sudah trekking di negeri ini khususnya mereka yang melalui ABC, dikatakan bahwa tidaklah perlu membawa baju banyak-banyak, dua potong saja sudah cukup. Demikian juga dengan celana trekking satu saja sudahlah. Biarlah hawa bau jigong bersemai di sekujur tubuh sebab orang pun tak jua peduli, pun besar kemungkinan orang lain seperti itu juga. Gue memutuskan untuk melakukannya juga.

********************

Hari yang ditunggu datang juga. Sepanjang malam jantung berdebar-debar menantikan saat-saat ini, hari pertama trekking, hari inti dari pengembaraan ke negeri ini. Segala isi dalam tas sudah diperiksa dan disusun sebaik mungkin malam sebelumnya. Selepas mandi gue sejenak mengisi tenaga oleh sepiring nasi goreng babi di Pearly Gate Restaurant, restoran kecil di samping hotel yang gue daulat sebagai restoran cina terbaik di Nepal. Setelahnya, gue segera mengambil tas dari kamar dan menitipkan beberapa barang yang dirasa tidak berguna ketika trekking semisal celana jins, pakaian kotor, bantal leher, dan sepatu kets. Beban di punggung harus seringan mungkin mengingat perjalanan yang harus ditapaki akan senantiasa memeras peluh. Rasa terima kasih gue haturkan kepada pemilik hotel yang bersedia menyimpang barang-barang tersebut semasa trekking. Tepat jam delapan pagi, taksi yang akan membawa gue ke Nayapool sudah tiba mengantarkan gue dan mimpi. Nayapool merupakan desa di lembah Pokhara berjarak satu setengah jam dari Lake Side yang merupakan gerbang tempat dimulainya langkah para manusia menembus menuju Himalaya menyaksikan betapa kecilnya mereka berdiri berada di tengah-tengah ciptaan Tuhan yang lain. Throw it away, forget yesterday, will make the great escape. We won’t hear the word they say, they don’t know is anyway. Watch it burn, let it die, ‘cause we are finally free tonight.