Tag

, , , , , , ,

a25

Tidak ada cerita berselancar hari itu. Barangkali sudah empat hari berturut-turut di kala sore gue pergi ke pantai Kuta, menyewa papan selancar ukuran tujuh puluhan dengan harga empat puluh ribu rupiah untuk waktu sepuasnya kepada abang-abang Batak yang menyediakan jasa sewa papan selancar, kemudian berenang menjauhi garis pantai, berbalik arah lalu berusaha menunggangi ombak dengan baik. Ada kalanya berhasil menungganginya, tak jarang pulak digulung-gulung ombak dan terhempas seperti botol plastik bekas di tengah laut. Empat hari berturut-turut berselancar telah menyisakan rasa lelah yang luar biasa sejujurnya. Luka lecet di sekujur dada yang begitu terasa perih akibat bergesekan dengan lilin papan selancar. Persediaan celana dan celana dalam yang terbatas juga menjadi isu utama. Tidak ada cerita berselancar hari itu. Duduk santai di pantai Kuta, menanti senja, sebotol bir, dan sebuah buku akan menjadi hal yang menyenangkan.

Poppies Lane sore itu begitu ramai. Entah kendaraan entah manusia sama saja semuanya berlalu lalang, terkadang anjing kampung juga. Di kiri kanan jalan toko-toko hingga warung tampak buka. Matahari masih membubung tinggi menyengat apapun yang terlihat. Gue pergi meninggalkan penginapan murah meriah seharga enam puluh ribu per malam di salah satu sudut gang, berjalan ke arah pantai Kuta dengan mengenakan kaos berlengan puntung, celana pendek dan celana dalam yang belum sepenuhnya kering, sepatu kets, dan memanggul tas.

Seperti biasa pula, pantai Kuta dipenuhi dengan ratusan mungkin pula ribuan manusia mulai dari tua muda cantik jelek di sore itu. Berenang, bermain air, berselancar, berlari, bermain bola, berjemur, bersantai hingga tertidur, bahkan pula berburu wanita, semuanya menjadi kegiatan menyenangkan.

Setelah singgah sejenak dan menyapa gerombolan abang-abang Batak penyedia jasa sewa papan selancar, gue mencari tempat terbaik untuk menikmati hari menuju senja. Cukup jauh gue berjalan menelusuri pasir pantai sampai akhirnya duduk bersantai, cukup aman untuk terhindar dari gulungan ombak bila pasang nanti datang. Angin bertiup perlahan sembari memanjakan raga. Terik matahari yang perlahan-lahan sudah tak jumawa lagi tertutup awan. Riuh gemuruh laut dan ombak yang berkejar-kejaran seakan-akan menghipnotis. Dalam hitungan menit, gue jatuh tertidur di ranjang pasir pantai putih.

Cukup lama gue jatuh dalam tidur, barangkali satu jam barangkali juga lebih. Di samping gue sudah ada sebuah keluarga yang sedang bercanda tawa. Si ayah berwajah bule, sementara si ibu berwajah oriental. Mereka memiliki tiga orang anak, seorang bayi perempuan mungil, masih mengenakan popok yang mungkin penuh dengan air seni dan kotoran hangat. Yang kedua adalah seorang lelaki, mungkin berumur tujuh tahun. Yang menarik perhatian gue adalah anak tertua, seorang perempuan, umurnya sama dengan gue, mungkin juga lebih muda. Wajahnya merupakan hasil perpaduan antara bule dan oriental, menghasilkan sebuah keindahan yang membuat diyakini sangat cocok untuk tampil menjadi pemain sinetron tanah air. Mata begitu sulit melepaskan diri dari wajahnya. Si perempuan berbalut bikini berwarna hitam yang sangat cocok dengan setiap lekukan tubuhnya, tampak sempurna. Selagi menikmati pantai, si perempuan juga membaca buku. Segera gue juga mengambil buku, mecoba untuk membacamya.

Sulit sekali untuk bisa berkonsentrasi membaca buku. Gue begitu teralihkan oleh si perempuan. Bahkan jingganya senja yang tampak merona merekah tak cukup menarik perhatian dibanding dengan kecantikan si perempuan. Gue mencoba mencari tahu mengapa jantung berdetak terlalu kencang, mengapa begitu sulit untuk bisa mengalihkan perhatian dari si perempuan ini. Gue harus berkenalan dengan si perempuan. Ada rasa penasaran.

Ingin sekali mengajaknya berbincang. Sayangnya bibir seperti terkunci, lidah seperti tertelan entah ke mana. Tak ada yang bisa gue lakukan selain hanya memandangnya dengan kagum. Kadar keberanian yang ada di dalam diri gue hampir tidak ada. Setelah hampir satu jam hanya memandang si perempuan sambil kesal dengan diri sendiri, gue akhirnya berani melontarkan kata-kata kepada si perempuan, Permisi, bolehkah aku mengambil foto kamu dan suasana matahari terbenam kali ini? Si perempuan tampak terkejut, terdiam sejenak, kemudian ia mengangguk tanda merestui permintaan hina ini. Segera gue mengambil kamera kemudian mengabadikan beberapa keindahan yang disajikan Si Pemilik Semesta.

Berkali-kali gue memperhatikan foto tersebut sambil merenung. Sudah lebih dari satu jam kami berdeketan, keberanian tak kunjung datang seperti menguap menghilang tak berbekas, hanya bisa melihatnya dari dekat. Ketika dia berganti melihat ke arah gue, buru-buru gue membuang muka melakukan segara kepura-puraan, entah itu bermain ponsel atau melihat ke arah laut.

Matahari perlahan terbenam, seolah berkata kalau tugasnya hari itu sudah selesai, hanya menyisakan langit jingga. Sang keberanian tak kunjung datang. Sudah waktunya bagi si perempuan dan keluarganya untuk pulang, mungkin mereka akan segera menyantap makan malam, atau juga beristirahat dan berbersih diri di penginapan mereka. Hampir dua jam berada di samping si perempuan dan gue hampir tidak melakukan apapun.

Si perempuan beserta keluarga tampak bersiap meninggalkan pantai setelah si ayah mengajak keluarganya bergegas. Segera ia berberes, menutup buku, kemudian mengenakan kaos bermotif bunga-bunga kecil. Kaos sudah ia kenakan, kemudian ia berusaha melepaskan bikini hitam yang ada di bagian atas tubuhnya, memasukkan kedua tangannya di balik kaos. Jantung gue berdegup kencang melihat apa yang sedang dilakukannya. Dalam hitungan detik dia sudah melepaskan bikini hitam dan menaruhnya di samping. Gue semakin terdiam, tidak tahu harus berbuat apa.

Kemudian si perempuan berdiri melangkah meninggalkan pantai, berjalan ke arah restoran cepat saji yang ada di seberang pantai, bermaksud hati untuk ke kamar kecil. Gue mengejarnya, takut akan kehilangan kesempatan sambil berharap angin pantai datang mengantarkan keberanian.

Semesta masih memberikan kesempatan. Gue kembali bertemu dia di depan toilet. Mata kami bertemu di pantulan cermin untuk beberapa saat seperti menyiratkan saat yang tepat. Apa lacur, bibir seperti terkunci, lidah seperti tertelan, angin pantai tak kunjung datang membawakan keberanian. Pandangan kami lepas, dia pun berlalu meninggalkan gue yang terbujur kaku.

Tak ada lagi kali ini semesta memberikan kesempatan. Hanya butuh beberapa saat saja kemudian si perempuan menghilang entah ke mana, mungkin hilang di dalam kerumunan manusia di Kuta, mungkin juga berenang ke tengah laut dan tak kembali, atau mungkin juga terbang ke awan-awan sana. Ia sudah tak terlihat lagi. Untuk beberapa saat gue masih berjalan di sekitar mencari keberadaannya, hasilnya nihil. Langit jingga kini sudah berganti dengan rona hitam yang mulai pekat. Lampu-lampu pertokoan dan kendaraan bermotor mulai menghiasi jalanan seperti kunang-kunang di hutan. Sisi lain Bali segera menunjukkan eksistensinya. Gue akhirnya berjalan pulang, ditemani rasa sesal. Sampai ketemu lagi entah kapan, perempuan tanpa nama. Mungkin jika sekali lagi kita dipertemukan, gue sudah membawa bekal keberanian yang cukup. When will I see your face again?