Tag

, , , , , , , , , ,

Rinjani

Tak butuh waktu lama untuk menamatkan riwayat hidangan-hidangan yang ada di atas meja makan. Udara yang masih segar menjurus ke nauzubilah dinginnya semakin membuat lahap. Memang benar matahari sudah bersinar di Sembalun pagi itu, tapi sama sekali tidak menghalangi hawa dingin mencubit-cubit tulang. Desa ini sepertinya selalu bangun cepat, di luar sana warga kampung sudah berlalu lalang. Anak sekolah, petani, hingga motor dengan knalpot dibelah yang memekakkan telinga. Berani taruhan, pasti surat-surat motor itu sudah lama mati tak bernyawa. Warga kampung pasti sudah biasa dengan cubitan hawa dingin di sini, tidak perlu memakai baju berlapis-lapis.

Satu hal lagi yang menarik perhatian, yang pagi-pagi sudah berlalu lalang beramai-ramai. Para pendaki. Dengan tas keril begitu beratnya dengan ukuran lebih dari setengah tubuh mereka, berusaha menggapai mimpi yang tertanam di pucuk gunung tempat dewi anjani konon berada. Di dalam sebuah rumah kayu sederhana, empat orang manusia juga sedang merajut mimpi itu. Sebentar lagi langkah mengejar mimpi itu akan dimulai. Gue, Dimas, Pinto, dan Romen sedang melakukan persiapan akhir. Memeriksa kembali seluruh isi tas, memastikan seluruh kebutuhan tidak tertinggal. Sesekali gue melakukan peregangan kecil.

Jam sembilan pagi gue sudah berada di pintu masuk belantara Rinjani di desa Sembalun. Ramai juga ternyata. Sesekali gue melihat rombongan pendaki melompat turun dari mobil pikap. Di sekitar pintu masuk terdapat beberapa warung, juga ada tempat penyewaan perkakas mendaki, barangkali ada yang kurang dari persiapan si pendaki. Tiba saatnya memulai langkah pertama. Gue, Dimas, Pinto, dan Romen berdiri melingkar, berdoa memohon perlindungan dari Si Pencipta Semesta.

Beberapa pemuda meminta gue untuk menunjukkan tiket masuk memulai pendakian. Betapa beruntungnya, sebab pemilik penginapan tempat kami melepas lelah bersedia untuk membantu gue mendaftar dan mendapatkan tiket di loket yang tak jauh dari penginapan. Memang awalnya gue ingin mendaftar kemarin, namun loket pendaftaran sudah tutup, sudah terlalu sore demikian katanya. Kemudian tiket masuk Rinjani gue tempel di tas sesuai dengan petuah si pemuda penjaga.

Untuk beberapa ratus meter ke depan gue masih melihat rumah-rumah warga di kiri kanan. Anak-anak kecil sedang duduk di depan pintu rumah, sibuk bermain dengan imajinasi. Ada juga yang melihat ke arah gue, seakan mengucapkan selamat menempuh perjalanan. Berikutnya gue berjumpa dengan tanah lapang yang begitu luas. Satu dua rumah berdiri di tengah-tengahnya. Kandang-kandang sapi tampak dipagari tak jauh dari rumah. Gerombolan sapi dengan lonceng di lehernya tampak sedang menyantap rumput sembari bersantai. Sesekali sapi-sapi melihat ke arah gue, entahlah, mungkin bermaksud mengucapkan selamat menempuh perjalanan juga. Tak lupa juga kotoran sapi, terkadang masih hangat kadang juga sudah keras membatu, ikut berserakan di sepanjang jalan, membuat gue harus waspada di setiap jejak.

Matahari seperti sedang memiliki dendam pribadi. Betapa panasnya dia bersinar. Belum begitu jauh perjalanan, gue sudah merasa gosong, kering, dan haus. Untuk beberapa saat berhenti, kemudian kembali berjalan. Puncak Rinjani dari kejauhan mengiringi langkah. Setelah padang melewati padang rumput, gue masuk ke dalam hutan.

Satu jam lebih berjalan, gue tiba di pos pertama yang ditandai dengan sebuah gasibu kecil. Banyak orang sedang berisitrahat di gasibu dan sekitarnya. Gue segera melepas tas, duduk, dan meluruskan kaki. Tegukan air bertambah-tambah nikmatnya. Teriknya matahari masih begitu dominan. Sepanjang mata hanya padang rumput yang begitu luas. Hampir tidak ada pohon rindang yang bisa dijadikan tempat berteduh ketika berjalan.

 Gue menyantap makan siang di pos kedua yang jaraknya sekitar satu jam juga dari pos pertama. Gue dan Dimas yang duluan tiba. Pinto dan Romen entah dimana gerangan. Setelah dari pos pertama tadi, mereka terpisah dari gue dan Dimas. Mungkin karena mereka ingin lebih bersantai berjalan, mungkin juga karena gue dan Dimas yang terburu-buru. Ramai sekali di pos kedua ini. mungkin jika dihitung ada ratusan orang yang sedang beristirahat di pos tersebut. Kompor, perlengkapan masak, mi instan, dan sarden kaleng segera dikeluarkan dari tas. Gue dan Dimas memulai masak dengan sederhana. Apa lacur, makhluk hidup di dalam perut sudah begitu berontak sehingga tak sanggup lagi menunggu Pinto dan Romen yang sedang di mana pun tak ada yang tahu rimbanya. Di sebelah tampak beberapa porter sedang memasak untuk kelompok yang mereka pandu. Ada juga kelompok pendaki dari luar negeri. Sial, porter-porter ini mahir sekali memasak. Ditambah lagi dengan bahan makanan yang mereka bawa begitu komplit, mulai dari sayur mayur, daging, roti, hingga buah-buahan segar.

Asap dan aroma masakan hasil karya porter-porter begitu mewangi. Ingin sekali meminta dan mencicipi masakan mereka. Bila ada masakan yang bersisa pun tak masalah asal bisa diberikan kepaada gue. Berbanding terbalik dengan masakan gue dan Dimas yang biasa-biasa saja, asal kenyang. Mi instan rasa kaldu ayam, beberapa potong ikan sarden kaleng, dan nasi bungkus yang dibawa dari sembalun.

Pinto dan Romen datang ketika makanan gue dan Dimas sudah di suapan terakhir. Napas mereka begitu tersengal-sengal, pasti lelah sekali. Di depan gue dan Dimas, mereka langsung menjatuhkan badan, melepaskan belenggu tas keril. Kini gantian, mereka yang memasak dan menyantap makan siang. Gue menunggu mereka sambil mencari tempat yang tepat untuk tidur sejenak.

Kaki kembali melangkah, sejauh mata memandang hanya padang savana yang begitu luas. Matahari bersinar terik, angin bertiup membuat rerumputan yang panjang menari-nari di sekeliling. Begitu banyak tanjakan membuat gue dan Dimas kembali terpisah dengan Pinto dan Romen. Mereka sudah tidak terlihat di belakang sana. Di tengah perjalanan menuju pos ketiga, matahari mulai meredup berganti dengan hujan yang turun.

Sambil menunggu kedatangan Pinto dan Romen, gue dan Dimas memilih untuk tidur sambil melepas lelah yang sudah terlalu lama menempel di sekujur tubuh. Hampir satu jam gue dan Dimas tertidur, dua manusia itu belum datang juga. Untuk beberapa saat gue masih menunggu mereka. Tak sia-sia kali ini, sepasang manusia jahanam itu datang juga akhirnya. Berempat kami kembali melanjutkan perjalanan. Dalam hitungan menit pula kami terpisah lagi oleh tanjakan yang menghadang.

Mengapa harus ada bukit-bukit yang berbaris seakan tak pernah habis yang bernama Bukit Penyesalan? Konon jumlah bukit yang berbaris ini ada tujuh, konon delapan, entahlah persetan dengan itu semua sebab gue sendiri tidak menghitungnya. Bisa jadi, Bukit Penyesalan inilah tantangan terbesar menuju puncak Rinjani, ya katakanlah untuk menuju Plawangan Sembalun setidaknya. Kalau di beberapa jam pertama gue masih bisa menikmati hamparan padang rumput yang sangat menghibur sepanjang perjalanan, tidak dengan bukit nauzubillah ini. Tidak ada pemandangan yang terlalu indah, medannya yang begitu terjal, si hujan datang pula menambah luka. Setiap gue berhasil menggapai ujung puncak bukit, bukit yang lain sudah tersenyum menanti. Bedebah. Langit pun mulai hitam pekat sebab matahari sudah enggan bersinar di ujung senja, berganti dengan hembusan hawa dingin. Ujung perjalanan seperti masih jauh panggang dari api. Camilan cokelat menjadi sumber energi gue dan Dimas ketika sedang beristirahat. Tanjakan ini seperti tak ada habisnya. Ketika gue mendongak ke atas, seolah-olah titik puncak sedang menanti kedatangan. Ketika sampai ke titik itu, jauh di atas sana lagi masih ada titik yang entah apalah itu sebenarnya, ujung bukit atau ujung neraka.

Tanda-tanda Plawangan Sembalun tak jauh lagi mulai terkuak. Gue melihat jam tangan. Persetan, sudah jam setengah sembilan malam. Senter kepala menjadi satu-satunya sumber penerangan. Sepertinya puncak bukit di atas sana adalah puncak bukit terakhir dari rentetan Bukit Penyesalan. Harapan itu semakin mekar ketika gue mendengar banyak suara manusia di atas sana. Aroma masakan juga menusuk ke hidung dikirim sang udara malam. Tak salah lagi, pasti di atas itu Plawangan Sembalun. Setidaknya, akhir perjalanan hari ini akan segera datang. Gue dan Dimas saling memberi semangat. Jangan tanya Pinto dan Romen di mana.

Memang benar puncak di atas sana terlihat. Kenyataannya gue masih perlu melahap tanjakan tak berbelas kasih selama setengah jam. Semakin dekat dengan puncak bukit, semakin terdengar riuh gemuruh manusia, semakin tercium aroma masakan.

Plawangan Sembalun malam itu begitu ramai. Puluhan tenda berdiri berjejer, menjadi tempat peristirahatan para pendaki. Gue dan Dimas mencari tempat untuk mendirikan tenda. Dengan sisa tenaga dan kesadaran yang tak lagi banyak, tenda berhasil didirikan. Gue segera melompat masuk ke dalamnya, menghangatkan diri, sambil menunggu Pinto dan Romen yang batang hidungnya belum kelihatan juga. Satu jam berselang, teriakan Pinto dan Romen memanggil nama gue dan Dimas menggema. Gue pergi mencari sumber suara itu, benar ternyata itu Pinto dan Romen. Kami berempat segera berpelukan seperti empat sekawan di televisi hitam putih, kemudian duduk di depan tenda untuk memasak. Dua belas jam yang begitu berat untuk menuju Plawangan Sembalun. Esok gue akan menginjakkan kaki di puncak Rinjani, janji dalam hati. Puncak Rinjani malam itu tak terlihat di mana rimbanya, tertutup oleh pekatnya malam. Mi instan dan susu panas menjadi santapan malam, ditemani udara malam dan gugusan bintang yang bersinar malu-malu di langit yang hitam. Look at the stars, look how they shine for you, and everything you do. They were all yellow.